Sabtu, 21 Februari 2009

ANALISIS HUKUM KASUS BLBI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bila ditelaah lebih jauh, akar korupsi sebenarnya bukan semata-mata karena kecilnya gaji pegawai atau aparat. Karena pada kenyataannya, pelaku korupsi juga banyak dilakukan oleh para pejabat yang nota bene tingkat kesejahteraannya relatif lebih tinggi dibanding para pegawai pada umumnya. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan, banyak pelaku korupsi yang hanya mendapatkan sanksi hukuman ringan dari pengadilan bahkan mendapatkan putusan bebas.

Menurut L. Simanjuntak, dalam tesisnya yang berjudul Democratic Transition and the Politics of Corruption in Indonesia, bertahannya korupsi di Indonesia adalah karena struktur ekonomi politik masih secara jelas memfasilitasi struktur dan jejaring rente, sehingga biaya ekonomi yang harus dibayar sehari-hari hampir selalu lebih tinggi daripada seharusnya, dan hampir selalu ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Disisi lain bertahannya korupsi juga karena masih sangat lemahnya kontrol publik terhadap elite-elite pemerintahan yang sebagian besar juga merupakan representasi pada struktur patrimonial yang masih hidup subur di dalam masyarakat kita.

B. Pengertian Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang menunjukkan kepada perbuatan yang disangkutpautkan dengan keuangan. Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secarasalah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatukeuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme. Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).

3. Kelompok delik pengelapan.

4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion).

5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.

C. BLBI dan Hukum yang Bungkam

Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.

Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.

Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI. Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang berada dalam tataran hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontrovesri. Tulisan ini mencoba memberikan solusibagi keduanya, namun tidaklah dimaksudkan untuk membahasnya secara tuntas, melainkan hanya beberapa bagian yang dianggap relevan..

BAB II

ANALISIS HUKUM KASUS BLBI

A. Kasus BLBI

BLBI telah berjalan kurang lebih selama 10 (sepuluh) tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998. Langkah penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi lainnya di SP3-kan oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum. Pemerintah telah menetapkan kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar pengadilan dengan payung hukum UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan Payung Politik TAP MPR RI kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang mengesahkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU, dan SKL. Konsekuensi dari Inpres tersebut adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI (SP3) oleh kejaksaan agung namun tidak merujuk kepada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi seluruh kewajibannya) tidak memberikan hasil maksimal untuk kepentingan Negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Mei 2008 yang telah membatalkan SP3 Kejaksaan Agung yang telah dikeluarkan atas nama Kasus SYN (BDNI) tertanggal 14 Juni tahun 2004 merupakan bukti bahwa payung hukum di atas tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Sedangkan pengembalian atas kerugian Negara tidak mencapai 10 % dari total dana BLBI yang telah disalurkan.

B. Analisis Hukum Kasus BLBI

BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh adalah untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.

Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.

Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:

1. pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya.

2. konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI.

3. pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya

4. penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI

Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-bentuk penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima secara menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan memindahkan asset ke luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk operasionalisasi bank, serta untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group perusahaan penerima BLBI). Studi hukum

1. membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi.

2. membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.

3. membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo.

4. membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban yang timbul dari transaksi PUAB.

5. membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah ada.

6. bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti:

a. pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada bank.

b. penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas.

c. pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya.

Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya dilakukan. Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.

Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauhmana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.

Pembuat UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:

1. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan.

2. tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank.

3. tindak pidana perbankan di bidang pengawasan.

4. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi managemen).

5. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.

Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan dana BLBI yang dilakukan oleh pemerintah, kepada bangsa ini telah dipertontonkan adanya kontradiksi antara keinginan untuk menegakkan supremasi hukum pada satu sisi dengan realitas tentang betapa hukum (khususnya hukum pidana) telah dikorbankan untuk memenuhi kebijakan pemulihan ekonomi pada sisi yang lain. Dengan alasan untuk menyelamatkan keuangan negara dari para pelaku ekonomi yang nakal, maka perbuatan-perbuatan yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur delik, ternyata hanya diselesaikan dengan cara-cara yang justru semakin menjauh dari cita-cita penegakan supremasi hukum.

Kebijakan pemberian melepaskan dan membebaskan (release and discharge), bagi para debitur nakal yang melakukan penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan dalam Inpres Nomor 8 tahun 2002 telah memperlemah daya laku hukum pidana untuk menyeret para pelaku ke dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kebijakan yang tertuang dalam Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) tersebut dapat dinilai sebagai sesuatu yang kontradiktif dalam penegakan supremasi hukum.

Di samping itu, kebijakan tersebut juga telah memperagakan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum pidana di bidang perbankan. Betapa tidak, dengan kebijakan release and discharge, pelanggaran-pelanggaran hukum pidana dalam kaitannya dengan pemberian BLBI dapat di kesampingkan manakala penerima BLBI bersikap koperatif dalam pengembalian utangnya. Artinya, para pelaku penyimpangan dana BLBI yang secara faktual telah memenuhi rumusan hukum pidana dibebaskan dari kemungkinan adanya tuntutan pidana atas pelanggaran-pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukannya apabila yang bersangkutan melunasi utangnya. Hal tersebut tertuang dalam salah satu butir Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang menginstruksikan agar obligor yang telah membayar utangnya secara tunai sebesar minimum 30% dan bersedia membayar sisanya dengan sertifikat bukti kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), diberikan surat keterangan lunas (SKL). Dengan SKL tersebut mereka yang telah diperiksa dalam proses penyidikan akan diberikan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan mereka yang tengah diproses di pengadilan dapat dibebaskan dengan menjadikan SKL sebagai novum atau bukti baru.

Pemberian pembebasan dari tuntutan pidana seperti itu adalah tidak logis dan tidak dikenal dalam ajaran hukum pidana. Hukum pidana hanya mengajarkan, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara ( dalam hal ini adalah kerugian sebagai akibat penyimpangan dana BLBI ) tidak menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Hal ini bahkan sudah mendapat tempat dalam kebijakan perundang-undangan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berbunyi: pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi sekalipun utang yang timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya, namun tidak dapat mengakibatkan dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam penyaluran dan penerimaan BLBI itu terdapat penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal. Oleh karena itu, kalau kita ingin konsisten dengan penegakan supremasi hukum, maka penyimpangan-penyimpangan yang mengandung indikasi kriminal dalam praktek perbankan seperti itu harus diteruskan ke dalam proses peradilan pidana tanpa mempertimbangkan apakah pelakunya koperatif atau tidak dalam melunasi utang-utangnya.

Di samping itu, pemberian release and discharge, adalah sebuah inkonsistensi yang menampakkan secara nyata adanya ketidakadilan, sehingga dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat. Kebijakan tersebut telah melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang diakui dan diterima sebagai asas fundamental oleh bangsa-bangsa beradab, sehinga perlu dituangkan dalam konstitusi sebagai constitutional right.

Kalaupun ada kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI yang telah diproses dengan hukum pidana, itu tidaklah mendapatkan respons hukum yang memadai. Ada kasus-kasus yang telah berada pada tahap penyidikan, tapi kemudian dihentikan penyidikannya karena adanya berbagai intervensi. Ada pula kasus-kasus yang telah diajukan ke pengadilan, tapi kemudian pelakunya dilepaskan atau dibebaskan. Ada pula yang pelakunya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian dipidana, tapi sebelum dieksekusi terpidana telah kabur atau melarikan diri terlebih dahulu ke luar negeri. Bahkan ada pula yang diadili secara in-absentia, meskipun pelaku dipidana, namun hukum tidak dapat berbuat banyak karena pelakunya tidak bisa diekstradisi. Fakta-fakta seperti itu dapat menggambarkan kondisi tentang betapa bobroknya penegakan hukum di republik ini.

Adanya tarik ulur secara politis antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dalam penyelesaian masalah BLBI patut pula ditanggapi atau bahkan dicurigai adanya sesuatu yang tidak beres dalam penyelesaian masalah BLBI. Dengan segala hak konstitusional yang dimiliki DPR, nampaknya mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah dengan segala argumentasinya.

Ketidakberesan lain dalam penanganan kasus BLBI semakin terkuak dengan tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu. Urip kemudian ditetapkan sebagai tersangka menerima suap terkait dengan penanganan penghentian penyidikan kasus BLBI atas sama Syamsul Nursalim.

Pasca tertangkapnya Urip ada keinginan untuk mendesak agar KPK mengambil alih penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI, baik yang ditangani oleh kejaksaan maupun yang ditangani oleh kepolisian. Persoalan hukum yang timbul kemudian adalah perdebatan tentang apakah KPK mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum komisi itu terbentuk atau tidak.

Akar permasalah yang diperdebatkan terkait dengan asas non retroaktif (tidak berlaku surut) yang merupakan konsekuensi yuridis dari asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) sebagai suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Dalam konteks asas itu, hukum pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang diberlakukan. Artinya, ketentuan-ketentuan pidana tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang pidana berlaku.

Asas non retroaktif dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari perlakuan sewenang-wenang aparat penegak hukum yang menggunakan undang-undang yang berlaku setelah perbuatan dilakukan. Dalam konteks asas tersebut hanya perbuatan-perbuatan yang telah dikriminalisasi dalam suatu undang-undang sebagai tindak pidana orang dapat dituntut dan dijatuhi pidana. Mesti pula dipahami, bahwa yang menjadi sasaran dari asas non retroaktif ini adalah perbuatan atau perilaku yang dapat dipidana, sehingga ia berada dalam ruang lingkup hukum pidana materil.

Sedangkan kewenangan penyidikan berada dalam ranah hukum pidana formil, sehingga dengan demikian kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas non retroaktif. Dasar hukum untuk melakukan pengambil alihan sudah dirumuskan pembuat undang-undang secara eksplisit dalam Pasal 68 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam pasal itu ditegaskan, bahwa semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Hanya saja persoalan selanjutnya adalah apakah KPK memiliki keberanian untuk mendobrak pemahaman yang sempit tentang asas non retroaktif. Namun keberanian itu perlu didukung oleh kesamaan persepsi antara sesama aparat penegak hukum dalam konteks sistem peradilan pidana.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan negara adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk), sehingga memenuhi rumusan perundang-undangan pidana sebagai tindak pidana korupsi;

2. Pemberian release and discharge sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 8 tahun 2002 dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah menjungkir-balikkan asas-asas hukum yang menjadi sendi dari sebuah negara hukum; dan dapat mengakibatkan disfungsionalisasi hukum pidana;

3. Kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas non retroaktif, karena sasaran dari asas non retroaktif adalah perbuatan sebagai sesuatu yang berada dalam ruang lingkup hukum pidana materil.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, R., Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI , Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung.

Isnaini, Y., 2008, Benahi Penegakan Hukum Pidana Korupsi

Kompas, 2008, Kepercayaan Publik Dicederai Kejaksaan Agung Memalukan dan Indikasikan Perdagangan Perkara

Raharjo, A., Benang Kusut BLBI, MSAA DAN PKPS (Tinjauan Dari Sisi Viktimologis)

Raspati, L., 2007, Krisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Perbankan

Yuntho, E., 2008, BLBI dan Hukum yang Bungkam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar