Sabtu, 21 Februari 2009

STUDI KASUS ETNIK PAPUA

STUDI KASUS ETNIK PAPUA; Tidak Mempunyai Masalah Horizontal, Mempunyai Masalah Vertikal

I. Sejarah Singkat Pembentukan Negara Nasional di Papua

Kata Papua bisa diartikan sebagai etnik, karena merupakan sekumpulan orang yang secara bersama-sama saling melakukan komunikasi berlanjut, dan dipandang oleh orang lain sebagai suatu etnik dalam satu budaya. Sedangkan kata Papua juga diartikan sebagai wilayah teritorial yang merupakan bagian dari NKRI. Papua sebenarnya sudah sangat lama di kenal, paling tidak sejak tahun 1828, dimana papua dijadikan sebagai tempat pembuangan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia[1].

Berdirinya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan awal dari sebuah Negara secara artifisial, yang meliputi seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Hal terpenting dari berdiri suatu Negara adalah aspek hukum yang mendasarinya, terutama ditinjau dari hukum internasional. Prinsip hukum Internasional yang penting adalah (1) uti possidetis juris, yaitu batas wilayah Negara-negara bekas jajahan mengikuti batas wilayah sebelum Negara-negara tersebut merdeka, (2) dekolonisasi sekali untuk selamanya, bahwa dekolonisasi tidak dilakukan berulang-ulang, (3) dekolonisasi secara utuh, bahwa dekolonisasi hanya diberikan pada satu successor state bukan dua atau lebih Negara (Sihombing, 2005:16-17).

Wilayah Papua ( berawal sebutan Presiden Gus Dur) atau Irian Jaya (berawal sebutan Presiden Soekarno saat Trikora sukses), merupakan wilayah NKRI yang tersisa dan belum diserahkan oleh Hindia Belanda kepada NKRI. Hal ini terlihat dari hasil KMB pada tahun 1949 dimana Belanda mencoba untuk mereduksi implementasi dari KMB tersebut dengan kompromi pada pasal 2 Charter of The Transfer of Sovereignty yang menyebut bahwa Indonesia belum memiliki kapasitas yang memadai untuk melaksanakan administrasi daerah Papua yang begitu luas (Sihombing, 2005 : 24 ), sehingga secara otomatis Belanda menunda penyerahan wilayah kepada Indonesia, dan mempertahankan status quo karisidenan New Gueinea di tanah Papua.

Penundaan yang dilakukan secara terus menerus dalam merundingkan tentang status politik Papua dari tahun 1950 membuat gerah Indonesia, yang akhirnya pada tanggal 21 Pebruari 1956 secara unilateral Indonesia menarik diri dari Uni Indonesia-Belanda (Dr.PBR de Geus, 1994: 76). Selanjutnya pembatalan tersebut diresmikan dalam UU no 13 tahun 1956. Suasana diplomatik antara Indonesia-Belanda semakin memanas. Belanda mendirikan “ Papoea Batalyon ” untuk menjaga wilayah Papua, yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya OPM, sedangkan Indonesia sendiri mengumandangkan “perintah terakhir” (kemudian hari dikenal dengan Trikora) oleh Presiden Soekarno untuk pembebasan Irian Barat pada tanggal 19 Desember 1961 (PBR de Geus, 1994: 150), selanjutnya dikuatkan lagi dengan pembentukan Komando Mandala.

Melalui berbagai perundingan yang alot, termasuk upaya Sekjen PBB, ditanda tanganilah Persetujuan New York atau New York Agreement (NYA) pada 15 Agustus 1962, yang antara lain juga dengan pembentukan UNTEA (the United Nations Temporary Executive Authority). Pada tanggal 1 Oktober 1962 Penguasa Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada UNTEA.

Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada 1965[2]. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.

Selanjutnya salah satu kewajiban Indonesia menurut Persetujuan New York adalah melaksanakan act of self determination atau penentuan nasib sendiri oleh penduduk Papua. Akhirnya pada 19 Nopember 1969, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi nomor 2504 yang mengakui Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Dari proses pembentukan Papua di atas, di belakang hari muncul beberapa kalangan yang mempermasalahkan Papua. Munculnya gugatan dengan berbagai argumen yang melatar belakanginya, yang mempertanyakan proses Pepera dalam pelaksanaan act of self determination, pada akhirnya ditanggapi oleh Sekjen PBB dengan tetap mendukung integritas territorial NKRI atas Papua. Argumen yang bisa ditarik tentang penolakan tuntutan pengulangan Pepera (Pokja Papua, 2006 : 85) adalah, pertama (1) dari segi proses bahwa proses Pepera secara administratif dijalankan sesuai dengan prosedur yang disepakati oleh para pihak dengan pengawasan PBB, yaitu sesuai dengan isi yang disepakati dalamnya, kedua (2) sejak resolusi PBB No.2504 (XXIV) tahun 1969 ditetapkan, Papua bukan lagi wilayah sengketa atau wilayah non self government territory. Dengan demikian tidak ada lagi kewenangan pihak manapun untuk mencampuri kedaulatan Indonesia atas Papua.

Ketiga (3), forum Majelis Umum PBB yang menyetujuinya dan hasil Pepera merupakan forum state parties, karenanya, diperlukan persetujuan seluruh Negara pihak anggota PBB untuk bisa membicarakan sebuah keputusan yang telah diambil dalam forum tersebut, keempat (4) proses dan prinsip the right to self-determination

sebagaimana diatur dalam resolusi PBB 1514 hanya berlaku sekali dalam proses dekolonisasi di daerah koloni/jajahan, dapat dikatakan peran Indonesia di Papua tidak dilihat internasional sebagai penjajah.

Disinilah sebenarnya legitimasi Papua telah menjadi keputusan akhir dan harus disudahi. Papua telah menjadi negara nasional dengan sendirinya, sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Adanya Pepera, dapat disamakan dengan perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI. Dan jalan kekluar yang paling rasional untuk kebaikan di masa depan adalah penerapan UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Demografi dan Geografi.

Sudah sejak lama ujung Barat Laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya dipengaruhi oleh penduduk dari kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa di sepanjang pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas digolongkan sebagai Ras Melanesia dari pada Ras Papua. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari 50.000 orang menganut agama kristen protestan. Kemudian pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintahan pertama di Fak-Fak dan Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka pos pemerintah di Merauke pada tahun 1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya di sepanjang pantai Selatan Irian. Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan dasar sebagian besar diselenggarakan oleh misi keagamaan, dimana guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate, Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor). Pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan.

Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa "Melayu" dijadikan sebagai bahasa "Franca" (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari sekolah dasar, bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.

Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang. Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.

1. Penduduk pesisir pantai;

Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.

2. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah;

Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

3. Penduduk pegunungan yang mendiami lembah;

Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua).

4. Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung;

Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Dalam berbagai kebudayaan dari penduduk Irian ada suatu gerakan kebatinan yang dengan suatu istilah populer sering disebut cargo cults. Ada suatu peristiwa gerakan cargo yang paling tua di Irian Jaya pada tahun 1861 dan terjadi di Biak yang bernama "koreri". Peristiwa atau gerakan cargo terakhir itu pada tahun 1959 sampai tahun 1962 di Gakokebo-Enarotali (kabupaten Paniai) yang disebut " were/wege" sebagaimana telah dikemukakan bahwa gerakan ini yang semula bermotif politik.

Pada waktu Belanda meniggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik dibidang pemerintahan, pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan maupun pimpinan menengah diserahterimakan kepada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua (pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya dan juga tidak ada pembeli pada masa itu.

Belanda juga meninggalkan ekses konflik antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara "Elite Pro-Papua" dan "Elite Pro-Indonesia" yang ditandai dengan pertentangan antara "Suku Biak lawan Suku Serui, Suku tanah Merah-Jayapura lawan Suku Serui", sekalipun dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu pro-Indonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan pro-Indonesia.

Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Nieuw Guinea sesuai dengan permintahaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk "Etis-Politik Gaya Baru". Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk "Nasionalisme Papua". Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.

II. Formulasi Aspirasi dan Kepentingan Mendasar Etnik.

Beberapa aspirasi dan kepentingan mendasar etnik di Papua telah dilanggar yang berakibat timbulnya banyak kekecewaanpada masyarakat. Aspirasi masyarakat Papua tercermin dari kekecewaan-kekecewaan yang berlarut-larut dan panjang. Kekecewaan tersebut berbentuk:

1. Kekecewaan Historis dan Nasionalisme Papua.

Masyarakat Papua selalu membenci melihat adanya penjajahan yang dilakukan oleh mereka. Hal ini sejalan dengan adanya pemahaman nasionalisme yang tertanam dan terinternalisasi dari generasi ke generasi di Papua. Rasa nasionalisme ini berhubungan erat dengan sistem kepercayaan Cargo Cult, dimana adanya anggapan bahwa pendatang, seperti Belanda, Jepang dan Indonesia sebagai dewa penyelamat pembawa kemakmuran, tetapi di dalam perjalanannya berubah, maka mereka akan menarik diri atau memberikan perlawanan.

2. Kekecewaan Ekonomi.

Rakyat Papua telah terpinggirkan secara ekonomi sejak integrasinya dengan Indonesia. Kekayaan alam Papua yang berlimpah tidak pernah dirasakan manfaatnya bagi masyarakatnya sendiri. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, diawal penggabungan dengan RI, hasil kekayaan Papua langsung ditarik ke Jakarta untuk membenahi keadaan ekonomi negara yang dilanda inflasi.

Demikian juga yang terjadi saat pemerintahan presiden Soeharto. Banyak kebijakan ekonomi yang merugikan masyarakat Papua, diantaranya adalah:

a. Kebijakan Transmigrasi.

Secara umum program ini kelihatannya berhasil untuk membangun Papua sebab lokasi transmigran berubah menjadi pusat-pusat ekonomi dan pemerintah melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang memadai, seperti jalan, pusat pendidikan, rumah ibadah, puskesmas dan sebagainya. Tetapi, hal ini hanya terjadi di daerah transmigrasi saja dan hanya dirasakan oleh para pendatang. Sementara, penduduk lokal tetap pada kondisi semula, miskin dan buta huruf. Fatalnya, penduduk asing mengalami keterasingan di wilayah mereka sendiri.

b. Kebijakan Hak Pengelolaan Hutan.

Adanya HPH yang mengkapling-kapling hutan Papua untuk ditebang membawa akibat hilangnya sumber mata pencaharian. Mereka juga tercerabut dari akar spiritual dan alam ghaib yang telah mereka percayai. Akhirnya mereka terpaksa pindah dan tinggal di daerah pinggiran desa.

c. Kebijakan Hak Pengelolaan Hutan.

Adanya HPH yang mengkapling-kapling hutan Papua untuk ditebang membawa akibat hilangnya sumber mata pencaharian. Mereka juga tercerabut dari akar spiritual dan alam ghaib yang telah mereka percayai. Akhirnya mereka terpaksa pindah dan tinggal di daerah pinggiran desa.

d. Kebijakan Izin Multi Nasional Corporation.

3. Peminggiran Sosial-Budaya.

Peminggiran secara sosial-budaya merupakan akibat dari program transmigrasi di Papua. Kualitas, tentunya bagi penduduk pendatang lebih baik ketimbang penduduk lokal Papua. Hal ini dapat dilihat dari segi pendidikan yang berakibat terjadinya dominasi pasar tenaga kerja oleh kelompok pendatang di semua sektor, termasuk di pemerintahan daerah.

Terjadinya intervensi kebudayaan yang dapat menimbulkan keresahan sosial dan ketidak harmonisan. Ketidaksiapan pemerintah dalam menyiapkan struktur masyarakat yang siap menerima kedatangan etnis lain adalah penyebabnya. Akibatnya, mulai timbul kasus-kasus perebutan tanah dan sumber daya lainnya antar masyarakat yang berbeda etnik tersebut.

Pendekatan militerisme yang dilakukan untuk menyelesaikan setiap permasalahan di masyarakat dan setiap pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu masalah yang lain. Kita mengetahui bahwa bagi masyarakat adat, segala kegiatan yang dilakukan berdasarkan dari fungsi masing-masing. Dalam militer hal ini tidak dikenal sehingga masyarakat tidak terbiasa dengan model pendekatan yang dilakukan oleh militer. Rakyat dipaksa untuk patuh dengan segala instruksi dan disiplin militer yang diterapkan dalam setiap rencana pembangunan.

4. Diskriminasi Politik dan Hukum.

Banyaknya kebijakan pemerintah yang diterapkan di Papua sebagian besar dinilai oleh Pemerintah daerah dan masyarakat sebagai kebijakan yang diskriminatif serta menyebabkan timbulnya perlakuan yang tidak adil. Beberapa kebikan itu antara lain :

a. Kebijakan transmigrasi yang menganaktirikan penduduk lokal

b. Kebijakan pemberian bantuan pembangunan gedung-gedung dan tempat ibadah yang akhirnya hanya digunakan untuk pembangunan mesjid.

c. Kebijakan perimbangan keuangan antara daerah dengan pusat.

d. Dominasinya etnis non-Papua dalam jajaran pemerintahan.

e. Kebijakan pemerintah tentang Daerah Operasi Militer dengan dalih memberantas OPM yang berakibat tindakan kekerasan pada masyarakat[3].

III. Respon Pemerintah Pusat terhadap Aspirasi dan Kepentingan Etnik.

Penyelesaian konflik Papua telah banyak dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, kebijakan yang diambil dalam rangka penyelesaian konflik tersebut belum dapat memuaskan, terutama untuk masyarakat Papua sendiri. Ada banyak kebijakan yang diambil oleh pemintah Indonesia mulai dari era Orde Baru sampai masa Reformasi. Untuk melihat kebijakan apa saja yang telah dilakukan, dapat dilihat pada tabel berikut:

Presiden RI

Kebijakan

Soeharto

Pendekatan Militer

Pendekatan ekonomi yang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat Papua

B.J. Habibie

Penghapusan DOM

Pengadilan Militer

Pemekaran wilayah (UU No.45/1999)

Abdurrahman Wahid

Mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua

Meminta Maaf atas pelanggaran HAM oleh TNI

Mengizinkan pengibaran Bendera Bintang Kejora

Membantu Kongres Papua

Megawati Soekarno Putri

Pemberian Otonomi Khusus (UU No. 21/2001)

Inpres No. 1/ 2003

IV. Respon Etnik terhadap Respon Pemerintah Pusat.

Respon masyarakat Papua terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah secara keseluruhan adalah menolak kebijakan tersebut. Penolakan kebijakan tersebut, dalam hal ini akan diwakilkan oleh dua kelompok. Kelompok pertama adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok kedua adalah Presidium Dewan Papua (PDP).

a. Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Embrio dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah gerakan perlawanan yang dilakukan oleh suku Amungme di Abepura terhadap pemerintah pusat karena kebijakannya yang mengizinkan PT. Freeport melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Ternyata eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Freeport tersebut sistem ekonomi dan kepercayaan spiritual mereka. Mulanya, penolakan yang dilakukan oleh Suku Amungme adalah dengan melakukan protes dan mengajukan tuntutan-tuntutan yang ditujukan ke pemerintah pusat dan PT. Freeport. Namun, karena terlalu lama dan berlarut-larut tidak mendapatkan hasil yang diinginkan maka terjadi perubahan perlawanan dengan kekerasan. Ini terbukti dengan penyerangan yang dilakukan terhadap TNI pasukan Batalyon 751 Brawijaya pada tanggal 26 Juli 1965. Sejak itu, perlawanan bersenjata dilakukan dengan cara bergerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perjuangan yang dilakukan bukan lagi demi kepentingan ekonomi saja, tetapi akhirnya menuntut kemerdekaan dan keluar dan pemerintahan Republik Indonesia. Menurut Djogpari (2003), pemberontakan tersebut ditandai dengan aksi perlawanan fisik bersenjata, penyanderaan, demonstrasi massa, pengibaran bendera Papua Barat, penempelan dan penyebaran pamflet OPM, perlintasan perbatasan PNG serta aksi pengrusakkan dan pembongkaran. Gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh OPM ini memiliki basis pendukung yang kuat, yakni masyarakat Papua sendiri sebagai senjata pelindung utama pergerakan.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik ini dianggap OPM hanya sekedar untuk mempertahankan eksisitensinya atas Papua. Sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, OPM selalu menolaknya. Tujuan yang terpenting dari perjuangan OPM adalah menjadikan Papua sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

b. Presidium Dewan Papua (PDP).

Presidium Dewan Papua (PDP) yang berdiri pada tahun 1999, juga memiliki tujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi Papua. Berbeda dengan OPM yang menggunakan jalan kekerasan, PDP menggunakan kekuatan politik sebagai cara untuk mencapai tujuannya. Presidium Dewan Papua (PDP) diketuai oleh seorang pemimpin kharismatik yang mampu mempengaruhi kelompok adat di Papua untuk mendukung PDP yang bernama Theys Eluai. Jalur politik tanpa kekerasan ternyata cukup berhasil. Ini terlihat dengan melunaknya sikap pemerintah pada masa presiden Abdurrahman Wahid kepada PDP bahkan beliau memberikan bantuan saat PDP melakukan kongres. Secara umum PDP juga menolak semua kebijakan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kebijakan yang ada sekarang digunakan oleh para pemimpin PDP untuk jalan mempercepat pencapaian tujuan PDP.

V. Solusi Penyelesaian Konflik.

Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman masa lalu, di mana kebijakan resolusi konflik dilakukan sepihak menurut pandangan pemerintah pusat semata. Pemerintah pasca-Orde Baru ternyata melihat konflik Papua Barat seperti cara pandang pemerintah Orde Baru yang hanya menggunakan analisis ekonomi. Pemerintah melihat bahwa sumber konflik di Papua Barat adalah semata- mata masalah ekonomi yang berupa kurangnya kesejahteraan. Sebagai akibatnya, kebijakan yang diterapkan bertitik tolak dari pembangunan ekonomi. Kalau pemerintah Orde Baru melakukan pembangunan ekonomi dengan mengundang investor asing ke Papua Barat, pemerintah sekarang berusaha untuk memperpendek jalur birokrasi.

Apabila dilihat dari aspek pelayanan publik, kebijakan ini akan menimbulkan dampak positif, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan memperpendek jalur birokrasi pemerintahan daerah. Namun, pemerintah kurang memperhatikan perbedaan pendapat yang belum selesai, yaitu kesepakatan antara masyarakat Papua Barat dan pemerintah maupun antarmasyarakat Papua Barat mengenai otonomi khusus Papua.

Pemerintah seharusnya bertolak dari kebijakan otonomi khusus Papua untuk menjaga agar rakyat Papua Barat tetap berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini sejalan dengan pendapat Ted Robert Gurr (1998) yang mengatakan bahwa salah satu pendekatan akomodasi dalam konflik etnik-politik adalah pemberian otonomi daerah dan pembagian kekuasaan.

Langkah selanjutnya adalah mendiskusikan dengan masyarakat Papua Barat bagaimana bentuk otonomi khusus yang diinginkan, yaitu meliputi cakupan kewenangan dan titik berat wilayah penerima otonomi. Cakupan kewenangan mengatur keleluasaan-keleluasaan yang dimiliki pemerintah daerah, misalnya pemilihan kepala daerah, pembentukan parlemen daerah, penggunaan simbol- simbol budaya, pengaturan urusan-urusan daerah, pembentukan aparat keamanan daerah, dan lain-lain.

Adapun titik berat wilayah menentukan apakah otonomi akan dipusatkan di provinsi atau di kabupaten. Kalau otonomi akan dipusatkan di kabupaten, wacana pemekaran wilayah baru akan menemukan relevansinya. UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebenarnya telah mengatur bahwa titik berat otonomi pada pemerintahan provinsi (Pasal 4 Ayat 2). Dengan demikian, pemberlakuan UU No 45/1999 adalah suatu langkah mundur dalam pengelolaan konflik Papua Barat.

Terlepas dari proses penyusunan undang-undang yang diduga tidak melibatkan rakyat Papua Barat, pemerintah sebenarnya sudah berada pada jalur yang tepat untuk mengelola konflik dengan menetapkan UU No 21/2001. Pemerintah seharusnya mengambil langkah- langkah konkret mewujudkan pelaksanaan undang-undang tersebut, misalnya membicarakan pembentukan Majelis Rakyat Papua dan mendorong pemerintah provinsi untuk membuat peraturan daerah khusus/ peraturan daerah provinsi.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat mendorong berkembangnya proses dialog dengan rakyat Papua Barat secara langsung sehingga setiap pengambilan keputusan mengenai Papua Barat di tingkat nasional tidak direduksi oleh kepentingan elite politik lokal. Dewasa ini, peta konflik sosial sudah berkembang menjadi semakin kompleks. Karena itu, kalau tidak dikelola dengan tepat, akan meningkatkan resistansi rakyat Papua Barat terhadap pemerintah pusat. Kalau jumlah masalah yang belum terselesaikan semakin meluas dan pihak-pihak yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah semakin bertambah, tantangan untuk mempertahankan integrasi Papua Barat dalam NKRI semakin berat.

Dhuroruddin Mashad dan Ikrar Nusa Bakti (Pamungkas, 2003) mengatakan bahwa terdapat lima faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya gerakan separatis di Papua Barat, yaitu sejarah, ekonomi, sosial budaya, politik, dan hukum. Faktor sejarah menerangkan bahwa konflik vertikal ini berkaitan dengan kurangnya komunikasi politik antara masyarakat Papua Barat dan Pemerintah RI karena rendahnya pendidikan politik masyarakat.Faktor ekonomi berkaitan dengan keberadaan Freeport McMoran yang dinilai tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara aspek sosial budaya menunjukkan berbagai kebijakan budaya dari pemerintah pusat cenderung dianggap sebagai intervensi terhadap kebudayaan Papua. Adapun faktor politik dan hukum berhubungan erat dengan dominasi etnis non-Papua pada birokrasi pemerintahan daerah. Pemerintah pusat dalam waktu dekat seharusnya dapat mengambil kebijakan seperti berikut. Pertama, meneliti apakah pemekaran wilayah merupakan aspirasi sebagian besar masyarakat Papua Barat ataukah aspirasi elite politik lokal.Kedua, mengkaji secara mendalam sejauh mana implikasi pemekaran terhadap keutuhan identitas politik, sosial/budaya, dan geografis Papua Barat. Ketiga, memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua Barat untuk menentukan masa depannya dalam kerangka NKRI.

DAFTAR PUSTAKA

Aditjondro, George Junus. 2000. Cahaya Bintang Kejora: Papua dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta. Elsam.

Hadi, Syamsul, et.al. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta. CIRes dan Yayasan Obor.

Harris, Syamsuddin, et.al. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan?. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Ngadisah. 2001. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial-politik di Papua. Jakarta. P.T. Grasindo.

Pamungkas, Cahyo. 2003. Resolusi Konflik Papua Barat setelah Pemekaran. Sinar Harapan. 7 September 2003.

P.B.R. de Geus, Martinus Nijhoff, 1984, Masalah Irian Barat, Aspek Kebijakan Luar Negeri dan Kekuatan Militer , Leiden : Yayasan Jayawijaya.

Pokja Papua, 2006, Inskonsistensi dan Separatisme Jakarta : Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak?, Jakarta : Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua.

Sihombing, Mangasi, 2005, Aspek Hukum Keberadaan Irian atau Papua dalam Republik Indonesia dan Isu-Isu Terkait, Jakarta : Departemen Luar Negeri RI.



[1]. Haris. Hal. 180. Daerah yang dimaksud adalah Boven Digul.

[2]. Aditjondro. Hal. 10.

[3]. Hadi, at.al. Hal. 110-128.

1 komentar:

  1. KISAH SUKSES jadi PNS di lingkungan Pemerintahan Kota Jakarta
    Assalamu Alaikum wr-wb, Saya ingin berbagi cerita kepada anda, Bahwa dulunya saya ini cuma seorang guru Honorer sekolah Dasar di Cilincing Kota Jakarta Sudah 10 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS. saya sudah 3 kali mengikuti ujian tdk pernah lolos sama sekali, bahkan sempat membayar 50jt, hasilnya nihil saya sempat putus asa, namun teman saya memberikan. No tlp Ibu Dra.Risma Tampubolon M.si STAFF DEPUTI PENGADAAN DAN KEPANGKATAN PNS yang bekerja di BKN pusat Jl. Letjen Sutoyo No. 12 Jakarta timut 13640.
    saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Sebulan kemudian saya sudah ada panggilan Ke BKD , alhamdulillah SK saya akhirnya keluar, itu adalah KISAH NYATA dari saya, jika anda ingin seperti saya Hubungi saja Ibu Dra.Risma Tampubolon M.si STAFF DEPUTI PENGADAAN DAN KEPANGKATAN PNS BKN pusat. no Hp beliau: 085270033367 siapa tau beliau masih mau membantu.terima kasih

    BalasHapus